“Anggaran JKN terus naik, tapi mengapa masyarakat tetap banyak yang sakit?” Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi publik, dan jawabannya bukan hanya soal jumlah anggaran, tapi bagaimana dana itu digunakan. Data terbaru menunjukkan bahwa beban klaim JKN hingga Maret 2025 mencapai Rp47 triliun—angka yang mencerminkan makin tingginya kebutuhan layanan kesehatan, sekaligus menjadi alarm terhadap arah kebijakan pembiayaan yang masih dominan kuratif. Artikel ini mengulas arah baru yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan sistem jaminan kesehatan di Indonesia.
Pendahuluan
Realisasi pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data hingga Maret 2025, total klaim JKN telah mencapai Rp47 triliun, naik hampir dua kali lipat dibandingkan Maret 2022 yang tercatat sebesar Rp25,1 triliun. Kenaikan ini merupakan refleksi dari makin luasnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang dijamin negara, namun juga menjadi alarm terhadap beban keuangan yang kian berat di sektor kesehatan nasional.
Dominasi Pembiayaan Kuratif
Data menunjukkan bahwa Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) secara konsisten mendominasi struktur klaim. Pada 2022, klaim RITL mencapai Rp13,5 triliun, dan meningkat signifikan menjadi Rp26,8 triliun pada 2025. Kenaikan ini mencerminkan fakta bahwa sebagian besar dana JKN terserap untuk membiayai penyakit berat atau kronis yang membutuhkan perawatan lanjutan di rumah sakit.
Sementara itu, komponen lain seperti Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) juga menunjukkan tren peningkatan, namun tetap dalam skala yang lebih rendah dibandingkan RITL. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem kesehatan kita masih sangat berorientasi pada pendekatan kuratif.
Rendahnya Investasi Preventif-Promotif
Yang patut menjadi perhatian serius adalah porsi pembiayaan untuk program promotif dan preventif. Meski menunjukkan peningkatan dari Rp0,1 triliun (2022) menjadi Rp0,3 triliun (2025), porsinya masih jauh dari ideal. Secara persentase, anggaran ini bahkan belum menyentuh angka 1% dari total klaim JKN.
Minimnya alokasi ini mencerminkan bahwa kebijakan kesehatan nasional masih belum sepenuhnya berorientasi pada pencegahan penyakit dan peningkatan kesadaran masyarakat. Padahal, berbagai literatur dan best practices menunjukkan bahwa investasi preventif jauh lebih efisien dan berdampak jangka panjang dalam mengendalikan beban penyakit.
Kutipan Prabowo Subianto
> “Kita tidak bisa terus hanya mengobati yang sakit. Kita harus mencegah masyarakat jatuh sakit.”
— Prabowo Subianto, Presiden Terpilih RI 2024, dalam Debat Capres Bidang Kesehatan
Implikasi terhadap Keberlanjutan JKN
Kutipan Helmi Hasan
> “Pemerintah harus hadir sejak warga mulai rentan, bukan saat sudah sakit.”
— Helmi Hasan, Gubernur Terpilih Bengkulu 2024
Kenaikan klaim yang tinggi tanpa pergeseran strategi menuju pencegahan berpotensi membuat sistem JKN tidak berkelanjutan. Dalam jangka panjang, APBN akan terbebani dengan pembiayaan kasus-kasus berat yang sebenarnya dapat dicegah melalui intervensi awal. Ini tentu memerlukan transformasi mendasar dalam kebijakan pembiayaan dan pengelolaan sistem JKN.
Catatan Lapangan dan Testimoni
Seorang bidan Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Tengah menyampaikan bahwa 8 dari 10 pasien rujukan yang ia tangani merupakan kasus yang sebenarnya bisa dicegah sejak awal melalui edukasi dan deteksi dini. Sayangnya, keterbatasan program preventif dan beban kerja di layanan primer membuat upaya tersebut kurang maksimal. Hal ini selaras dengan data JKN yang menunjukkan tekanan terbesar berada pada layanan rumah sakit.
Dalam Laporan Keuangan BPJS Kesehatan 2023, disebutkan bahwa efisiensi layanan dan penguatan sistem rujukan menjadi prioritas. Namun, tanpa investasi pada aspek promotif dan edukatif, peningkatan anggaran justru menjadi siklus beban yang berulang.
Rekomendasi Strategis
1. Reorientasi kebijakan ke arah preventif-promotif, dengan meningkatkan porsi anggaran untuk edukasi kesehatan, skrining dini, dan penguatan layanan primer seperti Puskesmas dan Posyandu.
2. Perbaikan sistem rujukan dan kendali mutu di fasilitas rujukan agar lebih efisien dalam menangani kasus berat.
3. Pemanfaatan data klaim JKN sebagai basis pengambilan kebijakan berbasis bukti untuk mengidentifikasi penyakit prioritas dan pola pembiayaan.
4. Kolaborasi multisektor, termasuk peran pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat dalam memperkuat upaya promotif.
5. Peningkatan literasi kesehatan masyarakat, agar warga tidak hanya menjadi pengguna layanan, tetapi juga aktor aktif dalam menjaga kesehatannya.
Kaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG)
Realisasi pembiayaan JKN yang terus meningkat namun masih berorientasi pada kuratif perlu dikaji dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
1. SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
Target 3.8: Mencapai cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/UHC), termasuk perlindungan risiko keuangan, akses terhadap layanan kesehatan dasar yang berkualitas, dan akses terhadap obat-obatan dan vaksin yang aman, efektif, terjangkau dan berkualitas.
> Kenaikan klaim JKN mencerminkan peningkatan akses, namun rendahnya porsi pada promotif-preventif menunjukkan bahwa UHC belum sepenuhnya menjamin upaya pencegahan yang efektif.
2. SDG 1: Tanpa Kemiskinan
Target 1.3: Menerapkan sistem perlindungan sosial yang tepat sasaran, termasuk cakupan yang luas terhadap masyarakat miskin dan rentan.
> Sistem JKN berperan penting dalam melindungi masyarakat dari kemiskinan akibat biaya kesehatan. Namun, beban penyakit kronis yang tidak dicegah sejak dini berpotensi mengganggu keberlanjutan jaminan ini.
3. SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
Target 17.17: Mendorong kemitraan yang efektif antara sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil.
> Perlu pendekatan multi-stakeholder dalam memperkuat intervensi promotif dan preventif, termasuk peran sektor pendidikan, swasta, dan pemerintah daerah.
Penutup
Data pembiayaan JKN adalah cermin dari arah sistem kesehatan nasional. Kenaikan realisasi klaim adalah bukti nyata bahwa kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan meningkat. Namun jika tidak diimbangi dengan perubahan orientasi dari kuratif ke preventif, maka sistem JKN akan terus dibebani dan berisiko tidak berkelanjutan. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun sistem kesehatan yang tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mencegah dan memberdayakan.
Oleh: Julius Habibi, SKM, MPH
Dosen Kesehatan Masyarakat, Universitas Dehasen Bengkulu
Tagar untuk Diseminasi
#JKN2025 #KesehatanUntukSemua #ReformasiJKN #KesehatanBerkelanjutan
#AnggaranKesehatan #DataUntukKebijakan #CegahItuLebihBaik #APBNUntukRakyat
#PromotifPreventif #KesehatanMasyarakat #SDG3 #HealthForAll #UniversalHealthCoverage
#SustainableHealth #PreventiveCareMatters #HealthyIndonesia2045
#BengkuluSehat #JKNBengkulu #DehasenUntukNegeri #FIKESBergerak