Dokter Spesialis Menumpuk di Kota, Nyawa di Desa Menanti Pertolongan

Oleh: Julius Habibi – Dosen Kesehatan Masyarakat, Universitas Dehasen Bengkulu

“ Kami bukan tak ingin dirujuk, tapi jalanan jampran, jarak jauh, dan tak ada uang buat ke kota. Anakku lahir di rumah… tapi tak sempat menangis.” Ibu R (33), warga Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma Barat

📍 Studi Kasus Seluma: Bayi Lahir di Tengah Sunyi, Spesialis Tak Kunjung Datang

Di sebuah dusun di Seluma Barat, seorang ibu muda mengalami komplikasi saat melahirkan. Puskesmas rawat inap terdekat tidak memiliki dokter spesialis kandungan. Rumah sakit rujukan di Tais, ibu kota kabupaten, berjarak lebih dari 40 km—melewati jalan jampran dan jembatan gantung sempit. Sinyal pun kerap tak ada.

Karena minimnya akses dan keterlambatan rujukan, sang bayi lahir dalam kondisi lemah dan tak tertolong. Kasus ini bukan satu-satunya. Tim Relawan Dosen dan Mahasiswa FIKes UNIVED untuk Pelayanan Kesehatan Bergerak yang berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten Seluma mencatat bahwa 8 dari 11 kecamatan di Seluma tidak memiliki akses langsung terhadap layanan spesialis obstetri dan neonatologi.

📊 Data Nasional Tak Mewakili Realitas Daerah

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per April 2024, jumlah dokter spesialis secara nasional:

Namun, lebih dari 60% tenaga spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di sisi lain, daerah seperti Kabupaten Seluma, Lebong, dan Mukomuko masih bergantung pada sistem rujukan yang lambat dan berisiko.

💊 Tenaga Dokter Spesialis: Pilar Layanan Rujukan yang Masih Langka

Salah satu tantangan serius dalam sistem pelayanan kesehatan Provinsi Bengkulu adalah ketersediaan tenaga dokter spesialis. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu Tahun 2022, jumlah dokter spesialis secara keseluruhan di provinsi ini masih tergolong rendah dan terkonsentrasi di rumah sakit pusat atau RSUD di kota.

📊 Kondisi Umum:

  • Jumlah dokter spesialis masih di bawah 400 orang untuk melayani 10 kabupaten/kota.
  • Konsentrasi terbesar berada di Kota Bengkulu dan sebagian kecil di RSUD kabupaten induk.
  • Jenis spesialis yang sangat terbatas: spesialis anak, obgyn, penyakit dalam, bedah umum.
  • Daerah seperti Lebong, Mukomuko, dan Kaur hampir tidak memiliki dokter spesialis tetap—mengandalkan kunjungan periodik atau rujukan keluar daerah.

⚠️ Dampak Minimnya Spesialis:

  • Peningkatan beban rujukan ke RS di Kota Bengkulu atau luar provinsi (Palembang, Padang).
  • Keterlambatan penanganan kasus gawat darurat, terutama untuk layanan bedah, penyakit kronis, dan kelahiran risiko tinggi.
  • Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap RS daerah, sehingga pasien lebih memilih langsung ke kota besar (rujuk mandiri).
  • Beban keuangan rumah tangga meningkat, terutama di wilayah 3T yang harus merujuk keluar dengan biaya transportasi tinggi.

🌟 Rekomendasi Khusus untuk Dokter Spesialis:

  1. Program afirmatif untuk spesialis di wilayah blank spot, misalnya insentif ganda dan jaminan karier.
  2. Penguatan sistem rujukan berbasis jejaring digital, termasuk telekonsultasi antar RS kabupaten dan pusat rujukan.
  3. Kolaborasi dengan universitas kedokteran untuk penempatan residen (dokter spesialis tahap pendidikan akhir) di rumah sakit daerah.
  4. Pembangunan pusat layanan spesialistik regional (RS rujukan mini) di wilayah perbatasan.
  5. Evaluasi regulasi penempatan CPNS/PPPK dokter spesialis agar tidak hanya berbasis pilihan lokasi tetapi berdasarkan kekosongan.

🧠 Perspektif Kesehatan Masyarakat dan Akademik: Ini Bukan Sekadar Soal Jumlah

Perbandingan rasio dokter spesialis antara standar WHO, rata-rata nasional Indonesia, dan Provinsi Bengkulu memperlihatkan gap yang signifikan dalam pemenuhan hak dasar atas layanan kesehatan yang setara dan terjangkau.

 

Pakar kesehatan masyarakat memandang bahwa ketimpangan distribusi dokter spesialis adalah bentuk kegagalan sistemik. Kuantitas dokter nasional tidak otomatis menjamin akses adil terhadap layanan kesehatan.

“Kesehatan bukan soal siapa tinggal di kota, tapi siapa yang dilayani negara.”

Ketika fasilitas rujukan jauh, sinyal telepon tak ada, dan ambulans tak kunjung datang, maka satu-satunya harapan adalah sistem yang beradaptasi, bukan menunggu ideal.

Dari sudut pandang akademik, ketimpangan distribusi dokter spesialis ini merupakan bentuk nyata dari ketidakadilan struktural dalam sistem kesehatan. Hal ini dapat dianalisis menggunakan Andersen Health Care Utilization Model, yang menekankan bahwa akses layanan dipengaruhi oleh ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability), dan aksesibilitas geografis (accessibility). Dalam konteks Bengkulu, terutama Seluma dan wilayah 3T lainnya, ketiga elemen tersebut sangat timpang. Konsep task-shifting seperti pelatihan dokter umum untuk tindakan emergensi merupakan strategi adaptif jangka pendek yang juga direkomendasikan WHO sejak 2008 dalam kerangka penguatan sistem kesehatan berbasis bukti.

Selain itu, perspektif Social Determinants of Health (SDOH) mengingatkan kita bahwa kesehatan tidak hanya ditentukan oleh faktor klinis, tetapi juga kondisi sosial, geografis, ekonomi, dan politik. Maka, ketimpangan distribusi tenaga medis bukan semata masalah manajemen rumah sakit, tetapi refleksi dari arah kebijakan yang belum berpihak pada keadilan spasial dan sosial. Artikel ini menjadi suara akademik yang berpihak pada data, masyarakat, dan masa depan sistem kesehatan nasional yang lebih adil.

🛠️ Mengapa Pelatihan Dokter Umum Bisa Menjadi Solusi Adaptif?

Wacana Menteri Kesehatan tentang pelatihan terbatas bagi dokter umum untuk tindakan seperti operasi caesar di daerah 3T telah memicu perdebatan. Namun bagi daerah seperti Seluma, itu bisa menjadi penyelamat jiwa—jika dijalankan dengan pengawasan, sertifikasi, dan akuntabilitas.

Usulan Solusi Strategis:

  1. Pelatihan berbasis WHO untuk dokter umum di bidang emergency obstetric care.
  2. Supervisi spesialis melalui telemedisin dan rujukan daring terintegrasi.
  3. Insentif & perlindungan hukum bagi dokter umum yang ditugaskan di wilayah 3T.
  4. Reformasi sistem distribusi dokter, termasuk afirmasi CPNS dan beasiswa ikatan dinas untuk daerah krisis.
  5. Desentralisasi pendidikan spesialis, memungkinkan RS regional seperti RSUD M. Yunus menjadi pusat pelatihan spesialis berbasis wilayah.

 

⚖️ Keadilan Sosial dalam Layanan Kesehatan

Negara tak boleh terus membiarkan ketimpangan ini berlangsung. Layanan kesehatan maternal dan neonatal adalah hak dasar. Ketika ibu dan bayi di kota bisa memilih rumah sakit terbaik, sementara ibu di desa hanya punya satu bidan dengan senter kepala, maka keadilan kesehatan telah gagal diwujudkan.

⚖️Conflict of Interest Statement

Penulis menyatakan tidak memiliki konflik kepentingan terkait artikel ini. Artikel ditulis secara independen berdasarkan kapasitas akademik penulis.

Poster Edukasi: Darurat Spesialis di Daerah

Berikut poster edukatif yang mendukung diseminasi pesan artikel:

🔚 Penutup: Negara Harus Hadir, Hingga Ke Meja Persalinan yang Sunyi

Kita butuh keberanian untuk berpihak. Bukan berpihak pada kenyamanan institusi, tetapi pada hak hidup warga negara yang terpinggirkan.

“Negara tak boleh hanya ada di pusat kota. Ia harus hidup di jalan jampran, di ruang bersalin yang gelap, dan di wajah lelah bidan yang sendirian.”

Seluma adalah cermin. Jika kita tak bergerak, kita tak hanya kehilangan bayi—kita kehilangan harapan, perlahan tapi pasti.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *